Salah satu komoditas perikanan yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan adalah kodok. Paha kodok merupakan sumber bahan pangan yang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan rasa yang enak, sehingga tak mengherankan jika permintaan kodok untuk konsumsi baik dalam negeri maupun luar negeri setiap tahunnya terus meningkat, sedangkan pasokannya terus menurun. Penurunan ekspor kodok tersebut terjadi karena berkurangnya stok kodok dari alam.
Pada tahun 1974-1978 Indonesia pernah menjadi pengekspor kodok ketiga terbesar setelah India dan Bangladesh, bahkan pada tahun 1979 menjadi pemasok kodok kedua terbesar ke negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yaitu sebesar 34 persen dari total impor negara-negara tersebut, sedikit dibawah India (38 persen) (Anonimous, 1990). Pada saat itu kodok yang diekspor merupakan hasil penangkapan dari alam, seperti sawah, danau, sungai, dan perairan lainnya. Tahun 1985 India melarang penangkapan kodok dari alam karena dapat merusak keseimbangan lingkungan demikian juga Bangladesh dan Indonesia. Menghadapi masalah tersebut, maka mulai berkembanglah usaha budidaya kodok, terutama kodok asli perairan Indonesia. Namun usaha-usaha itu tidak berhasil karena kodok-kodok tersebut sulit beradaptasi dengan lingkungan budidaya.
Pada tahun 1980 Indonesia mendatangkan jenis kodok asal Amerika Utara dari Taiwan yang disebut bullfrog. Kodok tersebut diberi nama kodok lembu di Indonesia karena suaranya yang seperti lembu. Kodok lembu (Rana catesbeiana) ternyata memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan beberapa kodok asli Indonesia. Kelebihan tersebut diantaranya mudah beradaptasi dengan lingkungan budidaya, ukurannya lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat (dapat mencapai bobot 500-600 gram), tidak tergantung pada pakan alami atau dapt diberi pakan, dan kandungan gizinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kodok-kodok lain.
Kodok lembu memiliki kandungan protein sebesar 19,76 persen, lemak 0,63 persen, air 75,63 persen, dan abu 2,36 persen. Sementara jenis kodok konsumsi lainnya yang diekspor mengandung protein 15,23 persen, lemak 0,59 persen, air 80,59 persen, dan abu 3,38 persen (Anonimous, 1990). Kelebihan-kelebihan tersebut sangat memungkinkan kodok lembu dibudidayakan di Indonesia. Sejak saat itu, dimulailah budidaya kodok lembu yang dimulai dengan ujicoba yang dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Ujicoba tersebut dinilai cukup berhasil dan kemudian disebar luaskan ke daerah-daerah lain di tanah air.
Namun, jumlah masyarakat yang membudidayakannya masih sedikit dan teknologinya masih belum banyak dikuasai sehingga belum mampu meningkatkan produksi kodok untuk menggantikan kodok dari hasil tangkapan. Dengan demikian budidaya kodok lembu ini masih cukup potensial untuk berkembang. Berkembangnya budidaya kodok lembu ini diharapkan bisa meningkatkan produksi dalam negeri, menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan aktivitas usaha.
Sumber :
http://binaukm.com/2010/04/peluang-usaha-budidaya-kodok-katak-lembu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.